Pengutang dan Pembohong
“Kalau bisa ‘nyicil’ kenapa mesti bayar lunas.”Pernah mendengar orang berucap demikian, atau malah ikut berlaku seperti itu? Barangkali soal hutang memang turut serta dalam situasi dunia yang cenderung kebolak, eh kebalik. Makanya frasa, “Kalau bisa bayar lunas, kenapa mesti ngutang,” justru dianggap aneh.
Hutang semestinya muncul akibat ketidakmampuan satu pihak untuk membayar suatu kebutuhan. Kebutuhan bukan keinginan. Kebutuhan akan rumah, atau kendaraan untuk bekerja karena harganya mahal. Utang untuk modal atau mengembangkan usaha. Juga untuk membayar pendidikan, kesehatan atau yang lebih mendasar yaitu pangan dan sandang dalam arti sesungguhnya. Utang untuk membeli beras bukan untuk membayar all you can eat di kelas empire dengan cicilan kartu kredit.
Perilaku ngutang telah berubah fungsi, bukan untuk mememuhi kebutuhan tetapi perilaku mengejar keinginan. Lebih mengenaskan lagi, pada sebagian orang ngutang, menjadi hobi yang addicted. Demen banget si pelaku berucap pinjam dulu donk. Sebenarnya, gampang sekali mendeteksi apakah kita berperilaku suka ngutang. Saat ada uang lalu kita lebih suka ngutang, seperti pada ungkapan di atas, sesungguhnya kita berada berada stadium lanjut suka ngutang.
Uang yang seharusnya untuk membayar lunas, sudah pasti akan habis untuk membeli keinginan lainnya. Pada stadium awal perilaku suka ngutang, juga ditandai membeli barang di luar kemampuan dengan mengandalkan hutang. Konglomerat Amerika Serikat, Warren Buffet mengatakan orang yang membeli barang dengan cicilan minimal, sesungguhnya tak mampu membeli barang tersebut. Yeee, Warren Buffet kan kaya, untuk membeli sebuah barang tak perlu ngutang.
Alamak, banyak dari kita juga tak sekaya tukang sapunya, Buffet, tapi juga ngga perlu ambil cicilan minimal untuk membeli barang. Mestinya smartphone yang dipilih tak seharga 4,5 juta rupiah kalau hanya sanggup mencicil 400 ribu sebulan. Banyak telepon seluler seharga 1 hingga 1,5 juta jika uang cicilan hanya ada 400 ribu. Maka cicilan barang konsumsi beragam gadget 12 bulan atau bahkan 24 bulan adalah virus berbahaya, pembentuk perilaku hobi ngutang.
Masih kata Warren Buffet saking banyaknya berburu beragam barang dan perabotan, kebanyakan rumah tangga di Amerika mirip toko. Kebanyakan hasil kreditan, dan belum lunas. Di Indonesia, ga jauh-jauh amat. Kalau tidak, mustahil penerbit kartu kredit tumbuh subur di negeri ini. Belum lagi beragam penawaran program kredit yang tak pernah sepi beriklan di media massa. Kembali ke soal perilaku suka ngutang, pada stadium lanjut lainnya, ditandai dengan tampak fisik angka tagihan, jumlah kartu kredit dibanding sisa penghasilan. Saya pribadi berpendapat pemilik penghasil total di bawah 3 juta rupiah tak layak punya kartu kredit.
Dengan penghasilan sekitar Rp. 5 juta per bulan, utang di kartu kredit, semestinya tak lebih dari 3 juta supaya bisa dicicil 3-4 kali, bukan Rp. 12 juta dicicil 3 kali atau bahkan 12 kali. Apalagi kalau kita masih berkewajiban membayar cicilan KPR atau KPM, utang kartu kredit mestinya bisa ditekan. Prinsip kaum konservatif cicilan utang tak boleh lebih 30 persen dari penghasilan masih berlaku. Yang di maksud utang, adalah angka yang masih tersisa ketika pada awal bulan, selepas gajian, Anda membayar sebagian. Kalau angkanya nol setelah gajian, tentu bukan utang. Cash, cash, hebat-hebat. Anda termasuk pengguna kartu kredit untuk kepraktisan dan bukan menganggapnya sebagai ’uang lebih’. Eh bisa jadi dink, lebih sengsara kelak nanti.
Berapa jumlah, kartu kredit di dalam dompet? Satu dengan limit Rp 7 juta lebih baik ketimbang 2 dengan limit masing-masing Rp. 5 juta. Sebab pada tahun kedua, 7 juta akan naik jadi 10 juta, dan dua kartu berlimit Rp 5. juta masing-masing akan naik menjadi 7 juta. Total Rp.14 juta to? Artinya, peluang ngutang menjadi lebih besar.
Pinjam gunting tetangga, supaya peluang itu mengecil. Perilaku suka ngutang, stadium akhir adalah berbohong. Berbohong menaikan nilai gaji agar kartu kredit disetujui, berbohong memberi alamat palsu pada penerbit kartu kredit. Berbohong lagi tidak di rumah, berbohong bilang minggu depan, padahal siap-siap mau minggat hari lusa. Atau berbohong pada orang-orang sekitar, dan diri sendiri. ”Boleh pinjam uang untuk bayar uang sekolah anak?” Lhooh bukankah kemarin sudah dialokasikan? ”Iya buat terlanjur beli kamera XLR.” Oalah jadi tempo hari itu membohongi diri sendiri to, seakan-akan sudah kaya. Virus perilaku ngutang memang makin subur oleh praktik (entah curang atau tidak) penerbit kartu kredit dan lembaga pembiayaan.
Tetapi bagai api, itu sekadar bahan bakar. Kalau bahan bakar itu hilang, dan virusnya masih, akan dicari bahan bakar alternatif, ngutang pada tetangga, teman sekantor, atau kenalan baru. Sah-sah saja membenci bank dan penerbit kartu kredit, kalau cara membencinya tidak mau dirayu oleh tawaran utang yang bisa ‘membunuh Anda’ suatu saat kelak.
Profil Penulis
Arin Swandari, pernah bekerja selama 15 tahun di Kantor Berita Radio KBR sebagai jurnalis, editor dan penyiar. Ia menulis buku sendiri sekaligus menjadi co-writer. Bukunya antara lain, Melawan Penjual, Fund Planing (co-witer) Perencanaan Keuangan Mike Rini, tiga buku Serial Cabe Rawit SCTV, Mengakhiri Era Buruh Murah (co-writer). Arin juga biasa menjadi moderator dan host takshow, seminar, diskusi, trainer radio broadcasting dan radio journalism dll.
Arin bisa dihubungi a_swandari@yahoo.com